Perjalanan Rindu

Oleh Asma Nadia

“Jika Bunda meninggal dan aku kaya, aku mau makamkan bunda di Ka’bah atau di samping Rasul.” Kalimat sekonyong-konyong Adam, beberapa hari lalu, membuat saya tersentak. Saya pandang wajahnya. Tak ada jejak keraguan, pesimisme, atau kekhawatiran akan keinginannya. Letupan tersebut khas anak-anak yang tak banyak memiliki batasan dalam bermimpi.

Tulus hanya ingin memberi sesuatu bagi sang bunda. Dalam pikirannya pun, mungkin kata kaya yang dia sebutkan terkait biaya pemakaman di luar negeri versinya atau kekuasaan. Sepertinya Adam mengerti Tanah Suci sebagai tempat yang memiliki arti khusus bagi umat Islam. Percakapan serius antara saya dan Adam tentang Tanah Suci bermula pada akhir 2007 menjelang keberangkatan haji.

Saya dan suami mengondisikan anak-anak, mencoba memberi pemahaman sederhana tentang ibadah haji. Sebulan sebelum berangkat, saya menulis cerita pendek berjudul Emak Ingin Naik Haji—satu dari 13 cerita yang kini ada di dalam buku Ummi. Baik si kakak yang saat itu sudah lebih besar maupun adiknya, ikut membaca cerpen tersebut.

Mungkin dari sana si bungsu melihat betapa berartinya Ka’bah bagi banyak orang tua, juga ayah dan bundanya. Tetapi, benarkah ia mengerti Baitullah sebagai pusat kerinduan umat Islam? Benarkah ia memahami mengapa nyaris setiap kita, yang telah sampai ke sana, berharap dan ber doa untuk bisa kembali? Sebelum berangkat haji, sejujurnya saya tidak habis pikir, apa yang membuat seseorang pergi haji begitu sering. Sementara wajibnya hanya sekali. Tindakan yang saat itu saya nilai egois. Sebab dengan keberangkatan berkali-kali, seseorang telah mengurangi kuota haji jamaah Indonesia yang begitu terbatas.

Tetapi, ketika pertama menapak Masjidil Haram dan pandangan terpaut pada bangunan persegi dalam naungan kain hitam dan hiasan keemasan itu, saya menangis sejadi-jadinya, tersungkur lahir batin pada kemuliaan bangunan sederhana itu. Baca lebih lanjut

Berkumpulnya Rindu

“Dalam dekapan ukhuwah, kita mengambil cinta dari langit. Lalu menebarkannya di bumi. Sungguh di surga, menara-menara cahaya menjulang untuk hati yang saling mencinta. Mari membangunnya dari sini, dalam dekapan ukhuwah. Jadilah ia persaudaraan kita; sebening prasangka, sepeka nurani, sehangat semangat, senikmat berbagi, dan sekokoh janji.” — Salim A Fillah

Ya disana ada yang disebut ukhuwah, tapi kita sering berpisah, berjauhan dengan amanahnya sendiri, kita disibukkan dengan dunia kita, maka disitulah ada rindu.

Jika ada yang mengatakan “Obat rindu adalah bertemu” maka tak ada yang salah.

Karena disaat kami merindukan pertemuan, disaat kami merindukan kebersamaan, dan saat kami merindukan semangat-semangat itu kembali. Maka, kita bersama membuat agenda “Berkumpulnya Rindu”; satu malam dalam kebersamaan.

Kebersamaan itu kadang sulit untuk disatukan, tapi dalam rindu apapun yang menghalanginya akan dapat dihilangkan. Ukhuwah itu kami ikat, ya.. hanya dengan keimanan kita dapat bersama, apapun penghalangnya kita dapat membersamai.

Dan semoga kebersamaan itu selalu membersamai hingga kembali dan berkumpul dalam Firdaus-Nya.

Isyarat Rindu,

Dan ternyata masih belum mampu untuk menuliskan isyarat kehidupan dalam blog ini, perjalanan rindu, yang seharusnya tersampaikan. Dan hingga tahun yang katanya telah berganti baru masih belum ada yang baru di blog ini, ehe maaf… (baru ini)

Kenapa? Entahlah…

dan padahal disini adalah Januari, dimana perjalanan rindu itu dimulai, karena sebuah perpisahan. Dan rangkaian potongan episode rindu ternyata belum keseluruhannya, dan mungkin takkan sempurna hingga rindu akan kembali dipertemukan. Maka takkan ada yang salah dalam perjalanan rindu, merangkai kerja yang mungkin takkan ada yang memperdulikannya, cukup Dia yang tahu dan cukup begitu saja.

Tujuh tahun, dan hitungan akan selalu bertambah.